Monday 23 May 2016

Opening

Operasi Morfologi Opening
Operasi morfologi opening merupakan operasi erosi yang diikuti dengan dilasi dimana digunakan SE yang sama. Operasi opening akan menghilangkan seluruh piksel di area yang terlalu kecil untuk ditempati oleh SE dan menghaluskan kontur objek. Operasi opening A dengan strel B dengan notasi A○B yaitu seperti pada persamaan:
                                                        A B = (AB)B
Contoh opening:
Langkah pertama adalah erosi;
A         = {(1,1),(1,2),(1,3),(2,1),(2,2),(2,3),(3,1),(3,2),(3,3)}
B         = {(0,0),(0,1),(1,0)}
AB  = {(1,1),(1,2),(2,1),(2,2)}       

Langkah kedua adalah dilasi;
AB              = {(1,1),(1,2),(2,1),(2,2),(4,4)}    
B                     = {(0,0),(0,1),(1,0)}
(AB)B     = {(1,1),(1,2),(1,3),(2,1),(2,2),(2,3),(3,1),(3,2)}
Gambar  Opening A dengan B


referensi;
  1. Gonzalez, R.C. dan Woods, R.E., 2008, Digital Image processing, Addison- Wesley Publishing Company, USA.
  2. Pujiastuti, A., 2016, Sistem Perhitungan Lama Penyinaran Matahari Dengan Metode Otsu Threshold (Studi kasus: St. Klimatologi Barongan), Tesis, Program Studi S2 Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
  3. Putra, D.,2010, Pengolahan Citra Digital, Andi Yogyakarta, Yogyakarta

Sunday 22 May 2016

Erosi

             Operasi Dasar Morfologi Erosi
Proses erosi kebalikan dari proses dilasi (Putra, 2010). Jika dalam proses dilasi menghasilkan objek yang lebih luas, maka dalam proses erosi akan menghasilkan objek yang menyempit (mengecil). Operasi erosi A dengan B (E(A,B) dapat dinyatakan pada rumus (3.13).
Proses dilasi dilakukan dengan cara:
1.    Membandingkan setiap pixel citra input dengan nilai pusat SE dengan cara melapiskan SE dengan citra sehingga pusat SE tepat dengan posisi pixel citra yang diproses.
2.    Jika semua pixel pada SE tepat sama dengan semua nilai pixel objek (foreground) citra, maka input pixel diset nilainya dengan nilai pixel foreground dan bila tidak maka input pixel diberi nilai pixel background,
3.    Proses yang sama dilanjutkan dengan menggerakan (tranlasi) SE pixel demi pixel pada citra input.
Contoh erosi:
A         = {(1,1),(1,2),(1,3),(2,1),(2,2),(2,3),(3,1),(3,2),(3,3)}
B         = {(0,0),(0,1),(1,0)}
AB  = {(1,1),(1,2),(2,1),(2,2)}       

Tabel  Erosi A dengan B
posisi poros ((x,y)  A)
(1,1)
{(1,1),(1,2),(2,1)}
(1,2)
{(1,2),(1,3),(2,2)}
(1,3)
{(1,3),(1,4),(2,3)}
(2,1)
{(2,1),(2,2),(3,1)}
(2,2)
{(2,2),(2,3),(3,2)}
(2,3)
{(2,3),(2,4),(3,3)}
(3,1)
{(3,1),(3,2),(4,1)}
(3,2)
{(3,2),(3,3),(4,2)}
(3,3)
{(3,3),(3,4),(4,3)}

   

Gambar Erosi A dengan B

referensi;
  1. Gonzalez, R.C. dan Woods, R.E., 2008, Digital Image processing, Addison- Wesley Publishing Company, USA.
  2. Pujiastuti, A., 2016, Sistem Perhitungan Lama Penyinaran Matahari Dengan Metode Otsu Threshold (Studi kasus: St. Klimatologi Barongan), Tesis, Program Studi S2 Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
  3. Putra, D.,2010, Pengolahan Citra Digital, Andi Yogyakarta, Yogyakarta

Wednesday 17 February 2016

Dilasi

Operasi Dasar Morfologi Dilasi
Jika suatu objek (citra input) dinyatakan dengan A dan structuring elements (SE) dinyatakan dengan B serta Bx menyatakan translasi B sedemikian sehingga pusat B terletak pada x, maka operasi dilasi A dengan B dinotasikan (D(A,B)) dapat dinyatakan sebagai berikut;

D(A,B)= A⊕B={x:Bx∩A≠∅}               

Dengan ∅ menyatakan himpunan kosong.
Proses dilasi dilakukan dengan cara:
  1. Membandingkan setiap pixel citra input dengan nilai pusat SE dengan cara melapiskan SE dengan citra sehingga pusat SE tepat dengan posisi pixel citra yang diproses.
  2. Jika paling sedikit ada 1 pixel pada SE sama dengan nilai pixel objek (foreground) citra, maka pixel input diset nilainya dengan nilai pixel foreground dan bila semua pixel yang berhubungan adalah background maka input pixel diberi nilai pixel background,
  3. Proses yang sama dilanjutkan dengan menggerakan (tranlasi) SE pixel demi pixel pada citra input.
Contoh dilasi:
A          = {(1,1),(1,2),(1,3),(2,1),(2,2),(2,3),(3,1),(3,2),(3,3)}
B          = {(0,0),(0,1),(1,0)}
A⊕B    = {(1,1),(1,2),(1,3),(1,4),(2,1),(2,2),(2,3),(2,4),(3,1),(3,2),(3,3),(3,4),
                      (4,1),(4,2),(4,3)}

 
 
referensi;
  1. Gonzalez, R.C. dan Woods, R.E., 2008, Digital Image processing, Addison- Wesley Publishing Company, USA.
  2. Pujiastuti, A., 2016, Sistem Perhitungan Lama Penyinaran Matahari Dengan Metode Otsu Threshold (Studi kasus: St. Klimatologi Barongan), Tesis, Program Studi S2 Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
  3. Putra, D.,2010, Pengolahan Citra Digital, Andi Yogyakarta, Yogyakarta

Kartu Pias...(lanjutan)

Terdapat tiga tipe kartu pias yang berbeda bentuk. Perbedaan bentuk tipe kartu pias bertujuan untuk menyesuaikan letak kedudukan matahari dengan kedudukan alat yang dipasang, sehingga lintasan matahari dapat terekam dengan sempurna pada kartu pias. Perbedaan bentuk tipe kartu pias bertujuan untuk menyesuaikan letak kedudukan matahari dengan kedudukan alat yang dipasang, sehingga lintasan matahari dapat terekam dengan sempurna pada kartu pias. Tipe kartu  pias dijelaskan pada table berikut:


Tabel Jenis Kartu Pias
Tipe kartu pias
Keterangan kartu pias

Tipe SO-40U (1400-40S)
kartu pias dengan bentuk lengkung panjang yang dipasang pada periode tanggal 15 April - 31 Agustus


Tipe SO-40F (1400-40F)

kartu pias dengan bentuk lurus yang dipasang pada periode tanggal 1 Maret - 14 April dan tanggal 1 September - 14 Oktober.

Tipe SO-40W (1400-40W)
kartu pias dengan bentuk lengkung pendek yang dipasang pada periode tanggal 15 Oktober - 28/29 Februari.

referensi;
  1. Ariffin., Bahri, S., Sulistiono, R., Haryono, D., Suminarti, N., dan Herlina, N., 2010, Modul Praktikum Klimatologi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
  2. BMKG, 2006, Peraturan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika  no SK/32./TL.202/KB/BMG-2006.
  3. Lakitan, B., 1994, Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
  4. Pujiastuti, A., 2016, Sistem Perhitungan Lama Penyinaran Matahari Dengan Metode Otsu Threshold (Studi kasus: St. Klimatologi Barongan), Tesis, Program Studi S2 Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta